Selasa, 01 November 2016

#7 - Open Access dan Perkembangannya

Jurnal ilmiah merupakan sarana komunikasi ilmiah yang efektif. Bahkan banyak perguruan tinggi ternama yang mewajibkan mahasiswanya mewajibkan penulisan ilmiah di jurnal-jurnal terakreditasi internasional. Salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan ranking/rating dan akreditasi perguruan tinggi yang bersangkutan.

Penerbit jurnal ilmiah, pada tatanan selanjutnya, berfungsi sebagai pihak yang melakukan kontrol terhadap penerbitan dan diseminasi karya ilmiah ini. Namun sangat disayangkan, sampai saat ini, penerbit jurnal ilmiah memiliki dominasi penuh terhadap harga langgan. Maka malang bagi intansi pendidikan/penelitian yang memiliki dana yang minim, karena tidak mampu untuk membayar akses pada informasi tersebut.

Karena kondisi inilah akhirnya mulai dimunculkan kampanye gerakan open access. Tujuannya adalah untuk dapat memberikan alternatif terhadap akses karya ilmiah. Kampanye ini sangat dibantu dengan keberadaan teknologi infomasi dan internet yang semakin mempermudah serta memperluas saluran diseminasi pengetahuan, terutama kepada pihak-pihak yang sebelumnya tidak memiliki akses pada jurnal ilmiah berbayar.

Gerakan Open Access (GOA)
Kampanye Gerakan Open Access (GOA) atau Open Access Movement  internasional pertama diprakarsai di Budapest sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada bulan Februari 2002, yang dikenal dengan nama Budapest Open Access Initiative (BOAI). Selanjutnya disusul dengan Bethesda Statement on OA Publishing pada bulan Juni 2003, dan Berlin Declaration on OA to Knowledge in the Sciences and Humanities pada bulan Oktober 2003. Pada tahun 2007, MIT meluncurkan Open Course Ware (OCW) yang memuat materi kuliah secara online. Gerakan OA ini terus berkembang, baik yang terorganisir maupun yang bersifat perorangan. Di Amerika Serikat misalnya, dikenal Peter Suber dan Aaron Swartz. Aaron Swartz bahkan menjadi seorang aktivis internet yang populer di bidang teknologi informasi sejak berusia 15 tahun. Ia membantu mengembangkan format web feed RSS dan sebagai penemu situs populer Reddit. Namun, sangat disayangkan Aaron Swartz kemudian ditemukan tewas pada tanggal 19 Januari 2013, mengakhiri sendiri hidupnya karena depresi. Ia didakwa menggunakan jaringan MIT untuk mengunggah terlalu banyak artikel ilmiah dari basis data JSTOR pada tahun 2010, meskipun hal itu dilakukannya bukan untuk mencari keuntungan, tetapi adalah untuk menunjukkan kepada dunia bahwa karya akademik seharusnya menguntungkan seluruh umat manusia. Ia yang baru berusia 26 tahun saat itu, mungkin bisa dikatakan sebagai martir ideologi OA.[1]
      
        Pada pertemuan Bethesda Statement on Open Access Publishing pada bulan Juni 2003, dihasilkan 4 (empat) penyataan tekait dengan GOA [2]:
  1. Definisi dari Publikasi OA (Definition of OA Publication) 
  2. Pernyataan dari Kelompok Kerja Institusi dan Lembaga Penyandang Dana (Statement of the Institutions and Funding Agencies Working Group) 
  3. Pernyataan dari Kelompok Kerja Perpustakaan dan Penerbit (Statement of the Librariesand Publishers Working Group) 
  4. Pernyataan dari Kelompok Kerja Para Ilmuwan dan Organisasi Keilmuan (Statement of Scientists and Scientific Societies Working Group)
Yang menarik dalam penyataan yang dihasilkan dalam Bethesda Statement on Open Access Publishing adalah dicantumkannya peran dari perpustakaan, berikut adalah kutipannya:

“Libraries propose to: 
  •  Develop and support mechanisms to make the transition to open access publishing and to provide examples of these mechanisms to the community.
  • In our education and outreach activities, give high priority to teaching our users about the benefits of open access publishing and open access journals.
  • List and highlight open access journals in our catalogs and other relevant databases.”
Walaupun perannya dapat dibilang cukup sederhana, namun ini merupakan satu bentuk pengakuan terhadap peran perpustakaan sebagai bagian penting dalam proses diseminasi pengetahuan pada kerangka GOA, dalam hal ini adalah publikasi/jurnal ilmiah.
Seperti dikutip oleh Pendit (2013) Ada dua prasyarat agar sebuah karya dapat dikatakan sebagai sebuah “open access publication” sebagaimana dinyatakan di Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in the Sciences and Humanities (Berlin Declaration, 2003)[3], yaitu:
  1. Pengarang atau pemegang hak atas karangan itu harus memberikan kepada para pembacanya hak akses kepada karyanya yang bersifat bebas ‐bea, tak dapat diubah (irrevocable), dan global (worldwide), termasuk izin membuat salinan, menggunakan, membagikan, menyebarkan, dan menampilkannya kepada umum, serta membuat dan menyebarkan karya turunan (derivative) dalam segala bentuk digital untuk tujuan‐tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan dan dengan memperhatikan penghargaan kepada pengarang aslinya. Hak akses ini juga memungkinkan pembuatan versi cetak dalam jumlah seperlunya untuk penggunaan pribadi. 
  2. Versi lengkap dari sebuah karya, dan semua materi tambahannya, termasuk salinan dari pernyataan pemberian hak di atas, harus diserahkan (dan dengan demikian siap dipublikasikan) kepada setidaknya satu online repository yang didukung dan dirawat oleh sebuah institusi akademik, himpunan cendekiawan, badan pemerintah, atau organisasi lainnya yang sudah mapan dan yang selalu mengupayakan keterbukaan akses, distribusi yang tak terbatas, interoperability, dan pengarsipan jangka panjang.
Perkembangan di Indonesia
Perkembangan repositori (institusi atau subjek) dan open journal di Indonesia pada awal-awal tahun 2000-an masih belum begitu pesat. Banyak faktor yang menjadi penghambat perkembangan keduanya. Secara umum, pada saat itu memang isu OA relatif masih belum begitu dikenal di Indonesia. Penyebab lainnya adalah adanya ‘ketakutan-ketakutan’ yang kurang beralasan terkait OA terhadap karya-karya akademik, khususnya di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia. ‘Ketakutan’ pertama adalah kekuatiran akan makin suburnya praktik plagiarisme dengan dibukanya akses secara bebas ke karya-karya akademik sivitas kampus, baik berupa koleksi skripsi/tesis/disertasi maupun artikel jurnal ilmiah terbitan perguruan tinggi. ‘Ketakutan’ kedua adalah adanya perasaan ‘malu’ akan keberadaan sejumlah karya ilmiah sivitas perguruan tinggi yang kualitasnya kurang memenuhi syarat, atau dengan kata lain kurang bermutu (Liauw, 2009).[4]

OA di Indonesia saat ini belum spesifik/fokus pada jurnal penelitian. Perkembangan utamanya adalah dalam bentuk repositori institusi, atau yang dikenal dengan IR. Paul & Basu (2015) mencatat bahwa terdapat beberapa institusi pendidikan di Indonesia yang sudah mulai membuka akses terhadap repositori insitusinya sekaligus menyebarluaskan hasil riset mereka. Beberapa diantaranya yaitu Binus University, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Borneo, Universitas Bunda Mulia, CISRAL Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoto (UNDIP), EEPIS, Universitas Gunadarma, dan Universitas Hasanuddin. IPB bahkan tercatat telah menjadi salah satu institusi yang memberikan akses terbuka paling besar terhadap IR-nya, yaitu sekitar 61.274 items pada Januari 2015 yang menyimpan dan menyediakan artikel, tesis, dan buku dari berbagai subject multidisiplin.[5]

Tabel. Open access Repositori Institusi di Indonesia (Paul & Basu, 2015)
      Sedangkan Siregar (2016)[6] melaporkan bahwa di Indonesia terdapat 28 repositori institusi perguruan tinggi yang masuk dalam Rankings Web of Repositories oleh Webometrics yang dilakukan sejak tahun 2008. Hasil pemeringkatan ini cukup mengesankan karena 4 di antaranya mampu menduduki peringkat 19 hingga 30 dunia pada edisi Juli 2012 yaitu ITS, USU, Unand, dan Undip. USU sendiri mulai mengembangkan IR pada tahun 2001 bahkan sebelum ada kesadaran tentang OA yang dicetuskan kemudian di Budapest. Penerbit jurnal di Indonesia, yang pada umumnya adalah perguruan tinggi juga mendaftarkan IR dan jurnalnya pada:
  • Portal Garuda, terdapat sebanyak 283 kontributor IR dengan total judul 668.619 dokumen karya Indonesia, termasuk lebih dari 20 judul jurnal.
  • Directory of Open Access Repositories (OpenDOAR), terdaftar sebanyak 25 IR. 
  • Directory of Open Access Journals (DOAJ), berdasarkan statistik DOAJ, Indonesia berada pada peringkat 35 dari 121 negara, dengan jumlah jurnal sebanyak 45 dari total 8.604 judul dari seluruh dunia (Januari 2013). DOAJ diluncurkan sejak tahun 2002, dan jurnal Indonesia mulai terdaftar sejak tahun 2009. Jumlah ini memang masih sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah judul jurnal yang terbit di Indonesia. 
  • Indonesian Scientific Journals Database (ISJD), yang dikembangkan oleh LIPI dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) terdaftar 245 judul jurnal.
Catatan tersebut seperti memberi angin segar pada perkembangan OA di Indonesia. Pemberian akses gratis dan beragam pada perkembangan karya ilmiah adalah hal yang sangat diharapkan, terutama bagi institusi yang tidak memiliki resource yang luas terhadap jurnal ilmiah dan penerbitan jurnal ilmiah dan atau IR. Perlu juga dicatat bahwa fasilitas e-resources dari PNRI juga sangat membantu dalam keluasan akses informasi ilmiah bagi masyarakat Indonesia.

Berbagai pihak terkait penerbitan jurnal ilmiah masih memiliki keyakinan yang kokoh akan manfaat OA. Berbagai komunitas akademik dan peneliti masih memberikan dukungan yang solid bagi OA. Banyak pemerintah – khususnya negara-negara maju dengan keluaran hasil penelitian yang paling banyak – juga masih memberikan dukungan terhadap perkembangan OA. Dukungan yang sama seharusnya mulai dipikirkan secara serius oleh berbagai instasi pemerintah terkait pendidikan tinggi, penelitian, dan informasi di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Perguruan Tinggi, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika – dengan melibatkan berbagai pihak terkait – perlu duduk bersama untuk memikirkan dan memformulasikan kerangka kebijakan nasional terkait OA. Berbagai kebijakan yang sudah dihasilkan oleh negara-negara lain dapat digunakan sebagai bahan kajian awal untuk menghasilkan sebuah kerangka kebijakan nasional terkait OA bagi Indonesia.[7]

Sehingga dapat disimpulkan bahwa bagi negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan OA akan selalu memberi manfaat yang sangat besar pada masyarakat. Bukan hanya karena harga jurnal berlangganan yang sangat mahal, namun juga itu berarti ada harapan pada pemerataan akses antara negara maju dengan negara berkembang. Semoga perkembangannya akan semakin baik lagi. 



Referensi

[1] Siregar, A. Ridwan, 2016. (a) “Open Access Dan Perkembangannya Di Indonesia.," dalam situs  http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61828/1/Open_Access.pdf [diakses 24 Oktober 2016]
[2] Bethesda Statement on Open Access Publishing (2003),  https://dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/4725199/suber_bethesda.htm?sequence=1 [diakses pada 31 Oktober 2016]
[3] Berlin Declaration on Open Access to Knowledge in the Sciences and Humanities (2003), <http://OA.mpg.de/lang/en‐uk/berlin‐prozess/berliner‐erklarung/> seperti dikutip oleh Pendit (2013), “Open Access dan Kepustakawanan Indonesia,” dalam situs http://www3.petra.ac.id/library/uplOAd.php?act=get&id=42 [diakses 28 Otober 2016]
[4] Liauw, Toong Tjiek. “Open access: Menyuburkan plagiarism?”, Visi Pustaka, 11 (3), 2009, hal. 14-22.
[5] Paul, Mita & Anindya Basu. “A Studi on Open Access in Indonesia”, International Journal of Library Science and Research (IJLSR). Vol.5 No.4, Agustus 2015, hal.11-20
[6] Siregar, A. Ridwan, 2016. (b) “Open Access Dan Perkembangannya Di Indonesia.," dalam situs  http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/61828/1/Open_Access.pdf [diakses 24 Oktober 2016]
[7] Liauw, Toong Tjiek. (2013). Open access dan perguruan tinggi Indonesia. In J. G. Sujana & B. Mustafa (Eds.), Perpustakaan Indonesia menghadapi era open access (pp. 52). Bogor, Indonesia: Perpustakaan Institut Pertanian Bogor. Diakses melalui https://www.researchgate.net/publication/280094625 pada tanggal 30 Oktober 2016

Senin, 03 Oktober 2016

#6 - Mobile Personal Information Management


Personal Information Management (PIM) merupakan kegiatan terkait pengelolaan informasi personal. Setiap orang memiliki cara sendiri dalam mengelola informasi personal. PIM menurut Jones dan Teevan (2007) “is intended to support the activities we, as individuals, perform to order our daily lives through the acquisition, organization, maintenance, retrieval, and sharing information”[1]

http://www.paulberden.nl
PIM dimaksudkan untuk membantu kita, secara individual, untuk melakukan pengaturan pada aktivitas keseharian kita melalui penerimaan, pengorganisasian, pemeliharaan, temu kembali, dan penyebaran informasi. Cakupan dalam PIM bisa menjadi sangat luas, termasuk didalamnya informasi yang ada dalam komputer; arsip kertas; maupun kombinasi pada keduanya.[2] Kemudian seiring dengan perkembangan penggunaan perangkat digital lainnya, seperti smartphone, PIM ini juga dapat diaplikasikan untuk meningkatkan efektifitas penggunaannya. 

Woerndl, Gorh, dan Hristov (2009) mengatakan bahwa pengelolaan informasi di perangkat mobile lebih rumit dibandingkan dengan pengelolaan informasi dalam desktop. Ini dikarenakan perangkat mobile memiliki limitasi terhadap network bandwidth, storage capacities, displays dan input capabilities. Contohnya, pengguna memiliki keterbatasan dalam menelusur langsung ke beberapa hasil pencarian sekaligus terkait dengan layar yang kecil pada perangkat mobile tersebut.[3]

http://www.emarketer.com
Seperti kita ketahui bersama, pengguna smartphone terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari eMarketer.com yang dirilis pada akhir tahun 2104, bahwa pada tahun 2016 (sekarang) akan ada dua miliar pengguna smartphone aktif di seluruh dunia.[4] Menurut laporan ini, Indonesia akan melampaui 103 juta pengguna smartphone aktif pada tahun 2018, dan akan menjadikannya negara dengan populasi pengguna smartphone terbesar keempat di dunia (setelah China, India, dan Amerika Serikat).

Laporan ini dapat pula menjadi dasar bagi penelitian tentang berbagai hal yang terkait dengan penggunaan smartphone, termasuk juga mengenai Mobile Personal Information Management (MPIM). Smartphone memungkinkan orang untuk mengakses dan memproduksi informasi kapan saja, dimana saja. Sehingga pada perkembangannya, smartphone saat ini bisa dikatakan sebagai sebuah platform baru dalam PIM. 

dok. pribadi
Pengguna smartphone – dalam kaitannnya dengan PIM – memiliki berbagai aplikasi untuk membantu dalam pengelolaan informasi personal. Aplikasi yang paling familiar dan pasti dimiliki oleh semua smartphone adalah ‘Contacts’.  Setiap orang bisa saja memiliki cara yang berbeda dalam menyimpan data personal. Permasalahan klasik yang seringkali muncul dalam penyimpanan data kontak personal adalah data tersebar ke dalam beberapa aplikasi. Contoh kasus sebagai simulasi, misalnya kita menyimpan nomor telepon seseorang dalam aplikasi ’contacts’ dan data lainnya (misalnya alamat rumah atau instansi) kita simpan dalam aplikasi lain (misalnya  aplikasi ‘notes’). Suatu hari kita ingin melakukan recall terhadap data tersebut, namun yang kita ingat hanyalah asal instansi orang tersebut, bukan namanya. Kita akan menemukan kesulitan dalam proses temu kembali informasi ini, karena kita perlu melihat dulu catatan yang kita tulis dalam‘notes’ untuk kemudian menelusur ke aplikasi ‘contacts’ atau sebaliknya. Padahal, dalam aplikasi ‘contacts’ sudah disediakan tautan untuk melengkapi data personal, seperti alamat, intansi, nickname, website, tanggal lahir, dll. Fasilitas ini seharusnya bisa memudahkan proses temu kembali jika sejak awal kita dapat memaksimalkan penggunaan aplikasi ini untuk pengelolaan data personal.


dok. pribadi
Contoh lain adalah pengulangan data yang serupa yang malah menambah penuh ruang penyimpanan di perangkat tersebut (lihat ilustrasinya dalam gambar di samping). Ini merupakan salah satu contoh ketidakefektifan dalam manajeman data personal. Informasi yang terpisah dalam beberapa record dengan nama yang serupa seharusnya dapat dijadikan dalam satu record saja.

Priyanto (2016) dalam perkuliahan Isu-Isu kontemporer Informasi menyampaikan bahwa kurangnya pengetahuan tentang pentingnya suatu informasi untuk waktu yang akan datang, membuat informasi sulit untuk disimpan dan diorganisasi secara efektif. Dan lebih lanjut dalam isu PIM ini, sedikit sekali kajian tentang bagaimana orang yang sama mengorganisasi informasi-informasi yang berbeda (foto, makalah, dokumen, dsb. Beberapa kajian yang sudah ada misalnya: (1) Orang hampir tidak pernah menilai cara mereka mengorganisasi informasi; (2) Orang mengeluh perlunya mengorganisasi informasi yang berbeda-beda; (3) Orang tidak konsisten dengan cara mengorganisasi informasi, dalam waktu atau pendekatan yang berbeda; (4) Orang kadang menghabiskan waktu untuk mengurus berbagai jenis informasi yang dimiliki – kirim informasi ke email pribadi, menyimpan email dalam folder, membuat folder dan sub-folder di ‘MyDocument’ dll.[5] Ini bisa menjadi kajian menarik dalam penelitian yang lebih kompehensif terutama pada mobile personal information management. Tertarik?


Meningkatnya jumlah informasi yang tersedia, tidak menjadikan kita semakin tahu apa yang kita simpan -- Ida F. Priyanto, 2016



Referensi:

[1] Jones, W. and Teevan, J. 2007. Personal Information Management. Seattle: University of Washington Press.
[2] Lina Zhou, Ammar S. Mohammed, and Dongsong Zhang, “Mobile Personal Information Management Agent: Supporting Natural Language Interface and Application Integration,” Information Processing & Management 48, no. 1 (January 2012): 23–31, doi:10.1016/j.ipm.2011.08.008.
[3] Wolfgang Woerndl, Georgh Groh, and Aleksandar Hristov, “Individual and Social Recommendation for Mobile Semantic Personal Information Management,” International on Advances in Internet Technology (2), no. 2 & 3 (2009): 215–26.
[5] Priyanto, Ida F. 2006. Materi Perkuliahan “Isu Informasi Kontemporer: Memory, Cognition, & Disruptive Technology (part 2)”. Yogyakarta: MIP Universitas Gadjah Mada

Kamis, 29 September 2016

#5 - Digital Darwinism dan Punahnya Perpustakaan

Perubahan mengarah untuk hal yang lebih baik atau lebih buruk, tapi yang pasti perubahan tersebut akan terjadi, cepat atau lambat. Hanya permasalahannya, seperti apa kita akan mengikuti perubahan tersebut. Apakah dengan mengikuti setiap perkembangannya, atau kita memilah-milah terlebih dahulu perubahan apa yang sesuai dengan kebutuhan kita, atau kita malah memutuskan untuk berdiam diri sejenak sambil menunggu saat yang tepat untuk ikut berubah. Jika yang ketiga adalah pilihan kita, maka bersiaplah karena kita akan tertinggal jauh dan (mungkin) kemudian tersingkir.
 
Perubahan dan atau perkembangan berlaku hampir di semua bidang keilmuan. Perkembangan teknologi adalah yang paling cepat terjadi, dan otomatis akan menyebabkan perubahan perilaku pengguna itu sendiri. Teknologi telah merubah cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, dan membuat keputusan. Contoh yang paling sederhana adalah pada penggunaan telepon sebagai alat komunikasi. Dari telepon rumah berkembang menjadi telepon genggam, lalu telepon genggam juga mengalami perkembangan dengan adanya internet menjadi telepon pintar 2G, 3G, sampai sekarang 4G bahkan mungkin sebentar lagi kita akan merasakan juga teknologi 5G.

Perkembangan pada bidang teknologi informasi tentu berdampak besar pada perkembangan dunia perpustakaan dan atau lembaga informasi lainnya. Karena perkembangan teknologi informasi mau tidak mau menyebabkan perubahan perilaku pencarian informasi. Contoh yang paling sederhana adalah orang sekarang cenderung mencari e-book atau e-jurnal sebagai bahan referensi dibandingkan buku atau jurnal dalam bentuk fisik. Perkembangan teknologi informasi ini seharusnya dapat pula mempermudah pekerjaan di bidang perpustakaan. Namun, apakah semua perpustakaan mampu dan siap berubah?

Pada kenyataannya, tidak.

sumber: www.briansolis.com
Kondisi saat ini bisa digambarkan sebagai era ‘Digital Darwinism’, yaitu merupakan fenomena dimana kecepatan pertumbuhan teknologi dan perilaku masyarakat berkembang lebih cepat daripada kemampuan (organisasi/perusahaan) untuk beradaptasi. [1] Adalah Brian Solis, seorang digital analyst yang mengungkapkan istilah ini dalam artikelnya yang berjudul ‘The Rise of Digital Darwinism and the Fall of Business as Usual’. Brian Solis mengungkapkan kemajuan teknologi saat ini telah mengubah banyak hal, mulai dari pengembangan produk, leadership and management system, business model, dan lain-lain. Banyaknya inovasi di segala bidang saat ini membuat perusahaan/ organisasi seakan-akan berada di persimpangan, dan harus memutuskan akan beradaptasi pada perubahan ini atau tersingkir.

Pada perkembangannya terhadap kebutuhan dan perilaku informasi, sebagai contoh, saat ini banyak konsep e-learning yang diaplikasikan pada berbagai bidang keilmuan. Masa depan konsep e-learning ini adalah persoalan otomasi dan mobilitas. Otomasi ini pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi biaya-biaya operasional organisasi. Sedangkan konsep mobilitas berkaitan dengan teknologi yang kompatibel dengan smartphone dan tablet – merupakan pilihan teknologi komunikasi yang familiar di masyarakat. Dan jika melihat kecenderungan peningkatan kapasitas kemampuan perangkat mobile ini, pada generasi selanjutnya akan berkembang m-learning, yang mungkin saja tidak perlu bergantung lagi pada koneksi internet untuk mengakses (Fisher, 2015). [2]

Bagaimana dengan dunia perpustakaan? Benarkah banyak perpustakaan kini mulai ditinggalkan? Banyak perpustakaan, katakanlah perpustakaan konvensional, tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi dan perubahan perilaku informasi masyarakat. Lalu solusi apa yang bisa dilakukan oleh perpustakaan, setidaknya saat ini?

Berubah. Miliki kemauan dan kemampuan untuk beradaptasi pada teknologi. Smart library bisa menjadi jawaban, terutama untuk perpustakaan akademik (beberapa konsep teknologi untuk diterapkan di perpustakaan modern dapat dibaca di http://ebookfriendly.com/library-future-technologies/). Lembaga pendidikan saat ini dipenuhi generasi Y dan Z yang sudah sangat beradaptasi pada perkembangan teknologi. Lama kelamaan generasi ini, dan selanjutnya, sudah tidak melirik lagi cara-cara konvensional dalam pencarian informasi. Mau tidak mau, suka atau tidak, perpustakaan dan lembaga informasi lainnya juga harus beradaptasi pada perubahan ini. Dalam teori evolusi klasik, Charles Darwin juga telah mengungkapkan bahwa kemampuan adaptasi adalah lebih penting daripada kekuatan atau kecerdasan.

Tantangan lain yang dihadapi perpustakaan dengan adanya dukungan pada kemajuan teknologi yang dapat diadaptasi ini, adalah mereka juga harus mampu berperan sebagai learning centre. Sehingga perpustakaan tidak sebatas (hanya) pada aktivitas sirkulasi koleksi perpustakaan (baik digital maupun non-digital), namun juga harus mampu memfasilitasi aktivitas sosial lainnya.

sumber: https://lekythos.library.ucy.ac.cy

Gambar diatas adalah konsep perpustakaan yang dikembangkan oleh Bergen Public Library, Norwegia,[3] dalam usahanya untuk mengikuti berbagai perubahan yang disodorkan oleh era digital dan globalisasi. Dalam konsep baru yang ditawarkan oleh Bergen Public Library, terdapat 4 (empat) elemen utama dalam konsep pengembangan perpustakaan, yaitu (1) Experince; (2) Empowerment; (3) Involvement; dan terakhir adalah (4) Innovation. Elemen ke-empat, innovation, merupakan perwujudan dari kemauan dan kemampuan perpustakaan untuk mengadaptasi kemajuan teknologi untuk diterapkan di perpustakaan. Penerapan ini dilakukan atas dasar survey yang dilakukan oleh perpustakaan tersebut untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi pada user-nya.  

Perpustakaan konvensional yang tidak mampu untuk berubah mengikuti perkembangan teknologi perlahan akan ditinggalkan oleh user. Ini adalah kenyataan yang dihadapi saat ini. Maka bukan tidak mungkin, perpustakaan ini lama kelamaan akan punah. Lalu, kemana kita, para pustakawan?


“It’s not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change” – Charles Darwin, 1809
 
Referensi:

[1] Solis, Brian. 2015. “The Rise of Digital Darwinism and the Fall of Business As Usual” [diakses melalui http://www.slideshare.net/briansolis/the-rise-of-digital-darwinism-and-the-fall-of-business-as-usual-by-brian-solis?qid=ceda89a1-9466-4357-a111-8893b353d444&v=&b=&from_search=5 pada tanggal 29 September 2016]
[2] Fisher, Michael. 2015. “Digital Darwinism”, Distance Learning. Vol 12 (3) page 37-38. [diakses melalui http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/1762652635/fulltextPDF/A084C47829EE4673PQ/1?accountid=13771 pada tanggal 28 September 2016]