Kemajuan teknologi informasi berdampak pada kecepatan
pertumbuhan informasi. Masyarakat dapat
mengakses informasi melalui berbagai media kapan saja dan di mana saja. Namun,
jika berbicara mengenai ‘akurasi’ maka ini menjadi tidak semudah yang
dibayangkan. Banyaknya informasi yang tersedia dan kemudahan dalam mengakses, ternyata
tidak berbanding lurus dengan tingkat akurasi dari informasi tersebut.
Apa yang terjadi jika pengambilan suatu keputusan dalam
suatu perusahaan dibuat berdasarkan informasi yang tidak akurat? Berapa banyak
kerugian yang harus ditanggung? Bagaimana jika kejadian ini justru dilakukan oleh
pemerintah? Mungkin anda masih ingat dengan kasus mantan menteri ESDM yang
memiliki kewarganegaraan ganda? Kasus ini menjadi vital karena berkaitan juga
dengan nama baik presiden (baca : http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=11983
dan http://www.tribunnews.com/nasional/2016/08/16/kasus-archandra-kelalaian-kerja-bin-yang-ujungnya-mempermalukan-presiden).
Did someone forget to do the background
checking or what?
Lebih lanjut mengenai keakuratan informasi, “akurat” sendiri
memiliki makna teliti; saksama; cermat; tepat benar (berdasarkan pengertian
KBBI versi online)[1],
sedangkan informasi sering diidentikan sebagai data yang telah diolah dan dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan keputusan. Sehingga
keakuratan informasi dapat diartikan sebagai data, dalam arti atau makna
informasi, yang memiliki ketepatan dari segi isi dan memiliki manfaat penting
dalam tujuannya sebagai bahan pertimbangan untuk membuat keputusan pada
tindakan selanjutnya.
Keakuratan informasi tentu berdampak besar terhadap kualitas
dari suatu informasi. Priyanto (2013)[2]
menyebutkan jika terdapat informasi yang tidak akurat, keputusan yang
diambil akan menjadi buruk dan akhirnya akan mengantarkan pada tindakan yang
lebih buruk lagi. Ketidak-akuratan informasi bisa diakibatkan oleh
gangguan (noise) dalam
proses penyampaian (transmisi) dari pengirim ke penerima atau karena
adanya kesalahan dalam pemrosesan informasi sebelum informasi tersebut
dikirimkan. Kahn (2002)[3]
menggambarkan aspek-aspek yang berkaitan dengan kualitas dari informasi sebagai
berikut:
![]() |
Tabel. Dimension of Information Quality |
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya saat ini adalah kaitannya dengan konteks serta penulis dan atau penerbitnya. Suatu informasi/berita bisa saja menjadi bias jika ada kecenderungan memihak pada kepentingan kelompok tertentu. Kondisi ini mulai banyak terlihat pada media-media berita di Indonesia. Representasi yang ditampilakan dalam media bahkan perlu dipahami sebagai isu politis, dengan mempertimbangkan: Siapa yang berbicara?; Siapa/apa yang dibicarakan?; Bagaimana cara membicarakannya?; Dalam konteks apa?; dan Mengapa? (Downes & Miller, 1998).[4]
Lebih lanjut, fakta bahwa ketidakakuratan informasi ada di mana-mana adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Yang perlu dilakukan adalah memiliki kemampuan untuk memilah informasi yang akurat dan yang tidak. Lebih penting lagi, terutama bagi pekerja informasi, untuk tidak menggunakan dan atau menyebarluaskan informasi yang tidak akurat. Silberg et.al (1997) mengungkapkan bahwa internet, adalah tempat dimana setiap orang dengan komputer-nya (gadget –red) dapat berperan secara simultan sebagai penulis, penyunting, dan penerbit serta dapat berperan sebagai ketiganya sekaligus jika ia menghendaki. Dalam kondisi seperti ini, pengguna internet baik yang baru maupun yang sudah berpengalaman sama-sama menghadapi masalah untuk membedakan mana informasi yang berguna mana yang tidak (dalam Fallis, 2004).[5]
Lebih lanjut, fakta bahwa ketidakakuratan informasi ada di mana-mana adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Yang perlu dilakukan adalah memiliki kemampuan untuk memilah informasi yang akurat dan yang tidak. Lebih penting lagi, terutama bagi pekerja informasi, untuk tidak menggunakan dan atau menyebarluaskan informasi yang tidak akurat. Silberg et.al (1997) mengungkapkan bahwa internet, adalah tempat dimana setiap orang dengan komputer-nya (gadget –red) dapat berperan secara simultan sebagai penulis, penyunting, dan penerbit serta dapat berperan sebagai ketiganya sekaligus jika ia menghendaki. Dalam kondisi seperti ini, pengguna internet baik yang baru maupun yang sudah berpengalaman sama-sama menghadapi masalah untuk membedakan mana informasi yang berguna mana yang tidak (dalam Fallis, 2004).[5]
Referensi:
[1] http://kbbi.web.id/
[2]
Priyanto, Ida. 2013. Nilai Informasi.
(https://www.academia.edu/4553433/Nilai_Informasi)
[5]
Fallis, Don. “On Verifying the Accuracy of Information: Philosophical Perspective”.
Library Trends, Vol. 52 No. 3, 2004:
463-487.
Its important to filtering everything around us!!
BalasHapus"terutama bagi pekerja informasi, untuk tidak menggunakan dan atau menyebarluaskan informasi yang tidak akurat" penting jg kiranya bagi duo hoax utk membaca kalimat ini he3 #justajoke
Haha.. sayang nggak bisa tag langsung ke duo hoax sensational itu yaa..
HapusSip artikelnya menambah wawasan saya, terima kasih Mba Futri,
BalasHapusOiya biar lebih sip lagi tambahkan kalimat penutup dalam paragraf terakhir artikelnya, misalnya "Demikianlah paparan mengenai informasi yang akurat dan berkualitas" :D
Oh, okey2.. terimakasih masukannya ya.
HapusBelum ada penutup ini ternyata.. hehe
mengenali aspek kualitas informasi dalam kaitannya dengan konten, author, penerbitnya menjadi penting dalam dunia sekarang ini.
BalasHapusIya Pak.. setuju pake banget soal ini.
HapusMasukan Pak Ida sdh saya tambahkan. Pada paragraf ke-4.
Hapusterima kasih pak :)
Makasih Mb Futri untuk informasi tentang aspek-aspek kualitas informasi yang ternyata jumlahnya lumayan banyak. Menambah pengetahuan lagi tentang dimensi kualitas informasi.
BalasHapusSama2 Dani :)
Hapus