Rabu, 07 September 2016

#3 - That's all hoax!

Sebelum teori bahwa bumi itu bulat, manusia meyakini bahwa bumi adalah datar. Seiring perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, ditemukanlah bahwa bumi itu bulat. Namun, pemikiran ‘the earth is flat’ kembali ramai belakangan ini.  Berbagai video menyebar di youtube menjelaskan teori bahwa bumi sebenarnya adalah datar. Hoax kah? Atau konspirasi tingkat tinggi? Ah, singkirkan dulu tentang ini. 

Bagaimana dengan peristiwa bom Sarinah? Apakah Anda masih ingat? Tidak berapa lama setelah kejadian berita tentang bom lanjutan yang akan meledak di beberapa wilayah lain di Jakarta yang menjadi viral di dunia maya (baca: http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160114150903-185-104329/pasca-ledakan-bom-sarinah-waspadai-pesan-hoax-berantai/). Berita menyebar sangat cepat dan menimbulkan ketakutan dan kepanikan. Hoax kah?

Mari mundur ke beberapa tahun yang lalu saat teknologi internet belum seperti saat ini. Apa Anda pernah mendapat surat berantai dengan judul ‘Surat dari Penjaga Masjid Nabawi’ yang ketika tahun 1980-an mulai menyebar di Indonesia khususnya Jawa. Surat itu berisi nasihat spiritual sekaligus ancaman bagi yang tidak menyebarkannya (karena dulu tersebar dalam bentuk surat tercetak, jadi pengusaha fotokopi-lah yang diuntungkan, saya sendiri, saat masih duduk di sekolah dasar tahun 1990-an, termasuk korban yang termakan berita palsu itu. Kena deh fotokopi 20 lembar, hehe…). Tidak berhenti disana, sejak internet mulai populer digunakan oleh masyarakat, surat itu pun menyebar kembali dalam bentuk e-mail, dan saya juga sempat mendapat surat itu, tapi saat itu saya sudah lebih pintar untuk tidak menyebarkannya lagi.
www.hoax-slayer.com

Berbicara mengenai hoax dan perilaku manusia di era informasi seperti tidak dapat dipisahkan. Manusia adalah mahluk informasi. Manusia berinteraksi dan terjadi pertukaran informasi. Manusia juga berekspresi dan menghasilkan informasi. Luciano Floridi menyebutnya sebagai inforgs -- information organism (dalam Priyanto, 2016)[1]. Perkembangan internet ternyata telah mengubah cara manusia berperilaku dan berinteraksi. Arus informasi yang tak terbendung membuat kebingungan terhadap informasi itu sendiri. Seringkali kita menjadi kesulitan membedakan mana informasi yang benar dan yang salah atau hoax sekalipun.

Jadi apa sebenarnya hoax itu?

Hoax dalam Longman Dictionary of Contemporary English[2] diartikan sebagai sebuah usaha untuk membuat orang lain percaya pada sesuatu yang tidak benar. Menyebar berita hoax adalah salah satu bentuk dari kekacauan/kebingungan yang muncul dalam perkembangan era informasi. Perilaku ‘copy-paste and share’ seperti virus menular. Banyak masyarakat tidak melakukan kroscek lebih dahulu terhadap berita yang disebarkannya. Menyebar berita menjadi begitu mudah dilakukan dalam sekali ‘klik’.

Hoax bukan hanya terjadi di abad modern ini namun sejak ratusan tahun lalu sudah banyak 
bermunculan para pemalsu yang membuat seolah-olah apa yang mereka miliki atau mereka ciptakan adalah sebuah kenyataan untuk mempengaruhi atau mendapat keuntungan buat mereka (baca: http://www.yudhe.com/5-kasus-penipuan-hoax-terbesar-sepanjang-masa/). Namun hoax yang tersebar sekarang ini dilakukan dengan kecanggihan teknologi informasi sehingga penyebarannya menjadi sangat cepat.

Lalu bagaimana kita, sebagai masyarakat informasi, harus menyikapinya?

Cara yang paling ampuh adalah dengan tidak menyebarkan kembali informasi hoax tersebut, dengan mengkroscek informasi/berita yang sumbernya tidak jelas. Saat ini banyak semacam situs (hoax buster) untuk mengecek apakah informasi yang kita dapat adalah benar atau hoax. Ini bisa menjadi filter saat kita akan menyebarkan kembali informasi yang kita dapat. Bila informasi yang kita dapat ternyata memang hoax, selain tidak ikut menyebarkannya sebaiknya kita juga memberitahukan kepada pemberi informasi bahwa informasi tersebut hanyalah hoax. 

Selamat men-digital dengan cerdas!

“It’s not information overload. It’s filter failure.” --- Clay Shirky

 
Referensi :

[1] Ida F. Priyanto, 25 Agustus 2016, catatan dalam sesi perkuliahan “The Digital World  
[2] Pearson Education. 2004. Longman Dictionary of Contemporary Engish. England: Pearson Education Limited.

4 komentar:

  1. ehem2 ini sekaligus curcol gt mbak,scra prnh jd korban duo hoax he3 #piss

    yang lebih parahnya skrg hoax jg sdh srg kali kt tmukan d aplikasi yg sering kt gunakan sprti aplikasi chatting smacam WA, BBM, LINE dan sjenisnya

    ==semoga kt selalu diberi petunjuk utk selalu tabayun== #sokbijak he3

    BalasHapus
  2. Iya betul, sekali sentuh langsung tersebar deh itu hoax.. padahal seringkali isinya nggak logis ya.

    Hanya memang tdk semua pengguna gadget 'terbekali' dengan literasi informasi.

    Sekedar menambahkan lagi (hasil ngobrol di chatroom kantor). Being illiterate pada informasi setidaknya memahami alur pikir verbal (language) dan alur pikir simbolik (tanda). Alur pikir bahasa diawali dr khayal menuju kebenaran (tashdiq).
    Langkahnya melalui mencari nisbat (hubungan) yg termasuk di dalamnya soal tabayun, dan dari hubungan2 ini kemudian melangkah ke pengertian/definisi. Dari definisi lahirlah pernyataan2/proposisi. Dari proposisi ini dibangunlah argumentasi2. Sampai pada simpulan: mana yg benar, mana yg salah. Sesudah itu dilihat tingkat kebermanfaatan informasi untuk di share dgn berbagai tujuan.
    ---

    Btw, bisa jadi tema thesis nih. Hehe..

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya...disertasi malah, tapi ya sayangnya tk smua org mau repot buka gugel bt cr definisi dl dan thp2 slanjutnya

      tu jd malah masuk k area psikologi ya sprtinya

      Hapus
    2. iya ya. literasi media dengan teori psikologi, begitu?

      Hapus