Bagaimana dengan peristiwa bom Sarinah?
Apakah Anda masih ingat? Tidak berapa lama setelah kejadian berita tentang bom
lanjutan yang akan meledak di beberapa wilayah lain di Jakarta yang menjadi
viral di dunia maya (baca: http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20160114150903-185-104329/pasca-ledakan-bom-sarinah-waspadai-pesan-hoax-berantai/).
Berita menyebar sangat cepat dan menimbulkan ketakutan dan kepanikan. Hoax kah?
Mari mundur ke beberapa tahun yang
lalu saat teknologi internet belum seperti saat ini. Apa Anda pernah mendapat surat
berantai dengan judul ‘Surat dari Penjaga Masjid Nabawi’ yang ketika tahun 1980-an mulai menyebar di Indonesia khususnya
Jawa. Surat itu berisi nasihat spiritual sekaligus ancaman bagi yang tidak
menyebarkannya (karena dulu tersebar dalam bentuk surat tercetak, jadi pengusaha
fotokopi-lah yang diuntungkan, saya
sendiri, saat masih duduk di sekolah dasar tahun 1990-an, termasuk korban yang termakan berita palsu itu. Kena deh fotokopi 20 lembar, hehe…). Tidak
berhenti disana, sejak internet mulai populer digunakan oleh masyarakat, surat
itu pun menyebar kembali dalam bentuk e-mail,
dan saya juga sempat mendapat surat itu, tapi saat itu saya sudah lebih
pintar untuk tidak menyebarkannya lagi.
Berbicara mengenai hoax dan perilaku manusia di era informasi
seperti tidak dapat dipisahkan. Manusia adalah mahluk informasi. Manusia
berinteraksi dan terjadi pertukaran informasi. Manusia juga berekspresi dan
menghasilkan informasi. Luciano Floridi menyebutnya sebagai inforgs -- information organism (dalam Priyanto,
2016)[1]. Perkembangan internet ternyata telah
mengubah cara manusia berperilaku dan berinteraksi. Arus informasi yang tak
terbendung membuat kebingungan terhadap informasi itu sendiri. Seringkali kita
menjadi kesulitan membedakan mana informasi yang benar dan yang salah atau hoax sekalipun.
Jadi apa sebenarnya hoax itu?
Hoax dalam Longman Dictionary
of Contemporary English[2]
diartikan sebagai sebuah usaha untuk membuat orang lain percaya pada
sesuatu yang tidak benar. Menyebar berita hoax
adalah salah satu bentuk dari kekacauan/kebingungan yang muncul dalam
perkembangan era informasi. Perilaku ‘copy-paste
and share’ seperti virus menular. Banyak masyarakat tidak melakukan kroscek
lebih dahulu terhadap berita yang disebarkannya. Menyebar berita menjadi begitu
mudah dilakukan dalam sekali ‘klik’.
Hoax bukan hanya terjadi di abad modern ini namun sejak ratusan
tahun lalu sudah banyak
bermunculan para pemalsu yang membuat seolah-olah apa
yang mereka miliki atau mereka ciptakan adalah sebuah kenyataan untuk
mempengaruhi atau mendapat keuntungan buat mereka (baca: http://www.yudhe.com/5-kasus-penipuan-hoax-terbesar-sepanjang-masa/).
Namun hoax yang tersebar sekarang ini
dilakukan dengan kecanggihan teknologi informasi sehingga penyebarannya menjadi
sangat cepat.
Lalu bagaimana kita, sebagai
masyarakat informasi, harus menyikapinya?
Cara yang paling ampuh adalah
dengan tidak menyebarkan kembali informasi hoax
tersebut, dengan mengkroscek informasi/berita yang sumbernya tidak jelas.
Saat ini banyak semacam situs (hoax
buster) untuk mengecek apakah informasi yang kita dapat adalah benar atau hoax. Ini bisa menjadi filter saat kita
akan menyebarkan kembali informasi yang kita dapat. Bila informasi yang kita
dapat ternyata memang hoax, selain
tidak ikut menyebarkannya sebaiknya kita juga memberitahukan kepada pemberi
informasi bahwa informasi tersebut hanyalah hoax.
Selamat men-digital dengan cerdas!
“It’s
not information overload. It’s filter failure.” --- Clay Shirky
ehem2 ini sekaligus curcol gt mbak,scra prnh jd korban duo hoax he3 #piss
BalasHapusyang lebih parahnya skrg hoax jg sdh srg kali kt tmukan d aplikasi yg sering kt gunakan sprti aplikasi chatting smacam WA, BBM, LINE dan sjenisnya
==semoga kt selalu diberi petunjuk utk selalu tabayun== #sokbijak he3
Iya betul, sekali sentuh langsung tersebar deh itu hoax.. padahal seringkali isinya nggak logis ya.
BalasHapusHanya memang tdk semua pengguna gadget 'terbekali' dengan literasi informasi.
Sekedar menambahkan lagi (hasil ngobrol di chatroom kantor). Being illiterate pada informasi setidaknya memahami alur pikir verbal (language) dan alur pikir simbolik (tanda). Alur pikir bahasa diawali dr khayal menuju kebenaran (tashdiq).
Langkahnya melalui mencari nisbat (hubungan) yg termasuk di dalamnya soal tabayun, dan dari hubungan2 ini kemudian melangkah ke pengertian/definisi. Dari definisi lahirlah pernyataan2/proposisi. Dari proposisi ini dibangunlah argumentasi2. Sampai pada simpulan: mana yg benar, mana yg salah. Sesudah itu dilihat tingkat kebermanfaatan informasi untuk di share dgn berbagai tujuan.
---
Btw, bisa jadi tema thesis nih. Hehe..
iya...disertasi malah, tapi ya sayangnya tk smua org mau repot buka gugel bt cr definisi dl dan thp2 slanjutnya
Hapustu jd malah masuk k area psikologi ya sprtinya
iya ya. literasi media dengan teori psikologi, begitu?
Hapus