Kamis, 29 September 2016

#5 - Digital Darwinism dan Punahnya Perpustakaan

Perubahan mengarah untuk hal yang lebih baik atau lebih buruk, tapi yang pasti perubahan tersebut akan terjadi, cepat atau lambat. Hanya permasalahannya, seperti apa kita akan mengikuti perubahan tersebut. Apakah dengan mengikuti setiap perkembangannya, atau kita memilah-milah terlebih dahulu perubahan apa yang sesuai dengan kebutuhan kita, atau kita malah memutuskan untuk berdiam diri sejenak sambil menunggu saat yang tepat untuk ikut berubah. Jika yang ketiga adalah pilihan kita, maka bersiaplah karena kita akan tertinggal jauh dan (mungkin) kemudian tersingkir.
 
Perubahan dan atau perkembangan berlaku hampir di semua bidang keilmuan. Perkembangan teknologi adalah yang paling cepat terjadi, dan otomatis akan menyebabkan perubahan perilaku pengguna itu sendiri. Teknologi telah merubah cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, dan membuat keputusan. Contoh yang paling sederhana adalah pada penggunaan telepon sebagai alat komunikasi. Dari telepon rumah berkembang menjadi telepon genggam, lalu telepon genggam juga mengalami perkembangan dengan adanya internet menjadi telepon pintar 2G, 3G, sampai sekarang 4G bahkan mungkin sebentar lagi kita akan merasakan juga teknologi 5G.

Perkembangan pada bidang teknologi informasi tentu berdampak besar pada perkembangan dunia perpustakaan dan atau lembaga informasi lainnya. Karena perkembangan teknologi informasi mau tidak mau menyebabkan perubahan perilaku pencarian informasi. Contoh yang paling sederhana adalah orang sekarang cenderung mencari e-book atau e-jurnal sebagai bahan referensi dibandingkan buku atau jurnal dalam bentuk fisik. Perkembangan teknologi informasi ini seharusnya dapat pula mempermudah pekerjaan di bidang perpustakaan. Namun, apakah semua perpustakaan mampu dan siap berubah?

Pada kenyataannya, tidak.

sumber: www.briansolis.com
Kondisi saat ini bisa digambarkan sebagai era ‘Digital Darwinism’, yaitu merupakan fenomena dimana kecepatan pertumbuhan teknologi dan perilaku masyarakat berkembang lebih cepat daripada kemampuan (organisasi/perusahaan) untuk beradaptasi. [1] Adalah Brian Solis, seorang digital analyst yang mengungkapkan istilah ini dalam artikelnya yang berjudul ‘The Rise of Digital Darwinism and the Fall of Business as Usual’. Brian Solis mengungkapkan kemajuan teknologi saat ini telah mengubah banyak hal, mulai dari pengembangan produk, leadership and management system, business model, dan lain-lain. Banyaknya inovasi di segala bidang saat ini membuat perusahaan/ organisasi seakan-akan berada di persimpangan, dan harus memutuskan akan beradaptasi pada perubahan ini atau tersingkir.

Pada perkembangannya terhadap kebutuhan dan perilaku informasi, sebagai contoh, saat ini banyak konsep e-learning yang diaplikasikan pada berbagai bidang keilmuan. Masa depan konsep e-learning ini adalah persoalan otomasi dan mobilitas. Otomasi ini pada akhirnya bertujuan untuk mengurangi biaya-biaya operasional organisasi. Sedangkan konsep mobilitas berkaitan dengan teknologi yang kompatibel dengan smartphone dan tablet – merupakan pilihan teknologi komunikasi yang familiar di masyarakat. Dan jika melihat kecenderungan peningkatan kapasitas kemampuan perangkat mobile ini, pada generasi selanjutnya akan berkembang m-learning, yang mungkin saja tidak perlu bergantung lagi pada koneksi internet untuk mengakses (Fisher, 2015). [2]

Bagaimana dengan dunia perpustakaan? Benarkah banyak perpustakaan kini mulai ditinggalkan? Banyak perpustakaan, katakanlah perpustakaan konvensional, tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi dan perubahan perilaku informasi masyarakat. Lalu solusi apa yang bisa dilakukan oleh perpustakaan, setidaknya saat ini?

Berubah. Miliki kemauan dan kemampuan untuk beradaptasi pada teknologi. Smart library bisa menjadi jawaban, terutama untuk perpustakaan akademik (beberapa konsep teknologi untuk diterapkan di perpustakaan modern dapat dibaca di http://ebookfriendly.com/library-future-technologies/). Lembaga pendidikan saat ini dipenuhi generasi Y dan Z yang sudah sangat beradaptasi pada perkembangan teknologi. Lama kelamaan generasi ini, dan selanjutnya, sudah tidak melirik lagi cara-cara konvensional dalam pencarian informasi. Mau tidak mau, suka atau tidak, perpustakaan dan lembaga informasi lainnya juga harus beradaptasi pada perubahan ini. Dalam teori evolusi klasik, Charles Darwin juga telah mengungkapkan bahwa kemampuan adaptasi adalah lebih penting daripada kekuatan atau kecerdasan.

Tantangan lain yang dihadapi perpustakaan dengan adanya dukungan pada kemajuan teknologi yang dapat diadaptasi ini, adalah mereka juga harus mampu berperan sebagai learning centre. Sehingga perpustakaan tidak sebatas (hanya) pada aktivitas sirkulasi koleksi perpustakaan (baik digital maupun non-digital), namun juga harus mampu memfasilitasi aktivitas sosial lainnya.

sumber: https://lekythos.library.ucy.ac.cy

Gambar diatas adalah konsep perpustakaan yang dikembangkan oleh Bergen Public Library, Norwegia,[3] dalam usahanya untuk mengikuti berbagai perubahan yang disodorkan oleh era digital dan globalisasi. Dalam konsep baru yang ditawarkan oleh Bergen Public Library, terdapat 4 (empat) elemen utama dalam konsep pengembangan perpustakaan, yaitu (1) Experince; (2) Empowerment; (3) Involvement; dan terakhir adalah (4) Innovation. Elemen ke-empat, innovation, merupakan perwujudan dari kemauan dan kemampuan perpustakaan untuk mengadaptasi kemajuan teknologi untuk diterapkan di perpustakaan. Penerapan ini dilakukan atas dasar survey yang dilakukan oleh perpustakaan tersebut untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih baik lagi pada user-nya.  

Perpustakaan konvensional yang tidak mampu untuk berubah mengikuti perkembangan teknologi perlahan akan ditinggalkan oleh user. Ini adalah kenyataan yang dihadapi saat ini. Maka bukan tidak mungkin, perpustakaan ini lama kelamaan akan punah. Lalu, kemana kita, para pustakawan?


“It’s not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change” – Charles Darwin, 1809
 
Referensi:

[1] Solis, Brian. 2015. “The Rise of Digital Darwinism and the Fall of Business As Usual” [diakses melalui http://www.slideshare.net/briansolis/the-rise-of-digital-darwinism-and-the-fall-of-business-as-usual-by-brian-solis?qid=ceda89a1-9466-4357-a111-8893b353d444&v=&b=&from_search=5 pada tanggal 29 September 2016]
[2] Fisher, Michael. 2015. “Digital Darwinism”, Distance Learning. Vol 12 (3) page 37-38. [diakses melalui http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/1762652635/fulltextPDF/A084C47829EE4673PQ/1?accountid=13771 pada tanggal 28 September 2016]

3 komentar:

  1. Menarik karena mengaitkan perpustakaan juga sebagai "bussiness as usual" yg bisa saja "punah" pada era Digital Darwinism, karena perpustakaan berpredikat "terbesar se-" apapun faktanya saat ini dapat diakses dalam genggaman.
    Saya juga mengangkat topic ini mbak fut :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya tadi saya juga baca-baca, ternyata topik nya serupa yaa..

      Hapus
  2. Kita akan akan menuju smart library bersama dengan mindset pustakawan sbg penjaga buku menjadi penyebar informasi :)

    BalasHapus