Perubahan mengarah untuk hal yang
lebih baik atau lebih buruk, tapi yang pasti perubahan tersebut akan terjadi,
cepat atau lambat. Hanya permasalahannya, seperti apa kita akan mengikuti
perubahan tersebut. Apakah dengan mengikuti setiap perkembangannya, atau kita
memilah-milah terlebih dahulu perubahan apa yang sesuai dengan kebutuhan kita,
atau kita malah memutuskan untuk berdiam diri sejenak sambil menunggu saat yang
tepat untuk ikut berubah. Jika yang ketiga adalah pilihan kita, maka bersiaplah
karena kita akan tertinggal jauh dan (mungkin) kemudian tersingkir.
Perubahan dan atau perkembangan berlaku
hampir di semua bidang keilmuan. Perkembangan teknologi adalah yang paling
cepat terjadi, dan otomatis akan menyebabkan perubahan perilaku pengguna itu
sendiri. Teknologi telah merubah cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, dan
membuat keputusan. Contoh yang paling sederhana adalah pada penggunaan telepon
sebagai alat komunikasi. Dari telepon rumah berkembang menjadi telepon genggam,
lalu telepon genggam juga mengalami perkembangan dengan adanya internet menjadi
telepon pintar 2G, 3G, sampai sekarang 4G bahkan mungkin sebentar lagi kita
akan merasakan juga teknologi 5G.
Perkembangan pada bidang
teknologi informasi tentu berdampak besar pada perkembangan dunia perpustakaan dan
atau lembaga informasi lainnya. Karena perkembangan teknologi informasi mau
tidak mau menyebabkan perubahan perilaku pencarian informasi. Contoh yang paling
sederhana adalah orang sekarang cenderung mencari e-book atau e-jurnal sebagai
bahan referensi dibandingkan buku atau jurnal dalam bentuk fisik. Perkembangan
teknologi informasi ini seharusnya dapat pula mempermudah pekerjaan di bidang
perpustakaan. Namun, apakah semua perpustakaan mampu dan siap berubah?
Pada kenyataannya, tidak.
![]() |
sumber: www.briansolis.com |
Kondisi saat ini bisa digambarkan
sebagai era ‘Digital Darwinism’, yaitu merupakan fenomena dimana kecepatan
pertumbuhan teknologi dan perilaku masyarakat berkembang lebih cepat daripada
kemampuan (organisasi/perusahaan) untuk beradaptasi. [1]
Adalah Brian Solis, seorang digital
analyst yang mengungkapkan istilah ini dalam artikelnya yang berjudul ‘The Rise of Digital Darwinism and the Fall
of Business as Usual’. Brian Solis mengungkapkan kemajuan teknologi saat
ini telah mengubah banyak hal, mulai dari pengembangan produk, leadership and management system, business
model, dan lain-lain. Banyaknya inovasi di segala bidang saat ini membuat
perusahaan/ organisasi seakan-akan berada di persimpangan, dan harus memutuskan
akan beradaptasi pada perubahan ini atau tersingkir.
Pada perkembangannya terhadap
kebutuhan dan perilaku informasi, sebagai contoh, saat ini banyak konsep e-learning yang diaplikasikan pada berbagai bidang keilmuan. Masa depan
konsep e-learning ini adalah persoalan otomasi dan mobilitas. Otomasi ini pada
akhirnya bertujuan untuk mengurangi biaya-biaya operasional organisasi. Sedangkan
konsep mobilitas berkaitan dengan teknologi yang kompatibel dengan smartphone
dan tablet – merupakan pilihan teknologi komunikasi yang familiar di
masyarakat. Dan jika melihat kecenderungan peningkatan kapasitas kemampuan
perangkat mobile ini, pada generasi
selanjutnya akan berkembang m-learning,
yang mungkin saja tidak perlu bergantung lagi pada koneksi internet untuk mengakses
(Fisher, 2015). [2]
Bagaimana dengan dunia
perpustakaan? Benarkah banyak perpustakaan kini mulai ditinggalkan? Banyak perpustakaan, katakanlah
perpustakaan konvensional, tidak mampu mengikuti perkembangan teknologi dan
perubahan perilaku informasi masyarakat. Lalu solusi apa yang bisa dilakukan
oleh perpustakaan, setidaknya saat ini?
Berubah. Miliki kemauan dan kemampuan
untuk beradaptasi pada teknologi. Smart library
bisa menjadi jawaban, terutama untuk perpustakaan akademik (beberapa konsep teknologi untuk diterapkan
di perpustakaan modern dapat dibaca di http://ebookfriendly.com/library-future-technologies/).
Lembaga pendidikan saat ini dipenuhi generasi Y dan Z yang sudah sangat
beradaptasi pada perkembangan teknologi. Lama kelamaan generasi ini, dan
selanjutnya, sudah tidak melirik lagi cara-cara konvensional dalam pencarian
informasi. Mau tidak mau, suka atau tidak, perpustakaan dan lembaga informasi
lainnya juga harus beradaptasi pada perubahan ini. Dalam teori evolusi klasik, Charles Darwin
juga telah mengungkapkan bahwa kemampuan adaptasi adalah lebih penting daripada
kekuatan atau kecerdasan.
Tantangan lain yang dihadapi
perpustakaan dengan adanya dukungan pada kemajuan teknologi yang dapat diadaptasi
ini, adalah mereka juga harus mampu berperan sebagai learning centre. Sehingga perpustakaan tidak sebatas (hanya) pada
aktivitas sirkulasi koleksi perpustakaan (baik digital maupun non-digital),
namun juga harus mampu memfasilitasi aktivitas sosial lainnya.
![]() |
sumber: https://lekythos.library.ucy.ac.cy |
Gambar diatas adalah konsep
perpustakaan yang dikembangkan oleh Bergen Public Library, Norwegia,[3]
dalam usahanya untuk mengikuti berbagai perubahan yang disodorkan oleh era
digital dan globalisasi. Dalam konsep baru yang ditawarkan oleh Bergen Public
Library, terdapat 4 (empat) elemen utama dalam konsep pengembangan
perpustakaan, yaitu (1) Experince;
(2) Empowerment; (3) Involvement; dan terakhir adalah (4) Innovation. Elemen ke-empat, innovation, merupakan perwujudan dari kemauan
dan kemampuan perpustakaan untuk mengadaptasi kemajuan teknologi untuk
diterapkan di perpustakaan. Penerapan ini dilakukan atas dasar survey yang
dilakukan oleh perpustakaan tersebut untuk dapat memberikan pelayanan yang
lebih baik lagi pada user-nya.
Perpustakaan konvensional yang
tidak mampu untuk berubah mengikuti perkembangan teknologi perlahan akan ditinggalkan oleh user. Ini adalah kenyataan yang dihadapi saat ini. Maka bukan tidak
mungkin, perpustakaan ini lama kelamaan akan punah. Lalu, kemana kita, para pustakawan?
“It’s not the strongest of the species that survives, nor the most
intelligent, but the one most responsive to change” – Charles Darwin, 1809
Referensi:
[1] Solis, Brian. 2015. “The Rise of Digital Darwinism and the
Fall of Business As Usual” [diakses melalui http://www.slideshare.net/briansolis/the-rise-of-digital-darwinism-and-the-fall-of-business-as-usual-by-brian-solis?qid=ceda89a1-9466-4357-a111-8893b353d444&v=&b=&from_search=5 pada tanggal 29
September 2016]
[2]
Fisher, Michael. 2015. “Digital Darwinism”, Distance
Learning. Vol 12 (3) page 37-38. [diakses melalui http://search.proquest.com.ezproxy.ugm.ac.id/docview/1762652635/fulltextPDF/A084C47829EE4673PQ/1?accountid=13771
pada tanggal 28 September 2016]
[3] https://lekythos.library.ucy.ac.cy/bitstream/handle/10797/11192/eksi002b.pdf?sequence=3
[diakses pada tanggal 29 September 2016]
Menarik karena mengaitkan perpustakaan juga sebagai "bussiness as usual" yg bisa saja "punah" pada era Digital Darwinism, karena perpustakaan berpredikat "terbesar se-" apapun faktanya saat ini dapat diakses dalam genggaman.
BalasHapusSaya juga mengangkat topic ini mbak fut :)
Iya tadi saya juga baca-baca, ternyata topik nya serupa yaa..
HapusKita akan akan menuju smart library bersama dengan mindset pustakawan sbg penjaga buku menjadi penyebar informasi :)
BalasHapus